Tahun Depan Pajak Digital Mulai Diterapkan
Penerapan pajak internasional akan dilaksanakan mulai tahun depan, sedangkan negara-negara G20 sendiri sudah menyepakati dua pilar perpajakan internasional.
Adapun dua pilar perpajakan tersebut adalah ketentuan perpajakan bagi sektor digital dan pajak minimum global (global minimum taxation).
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Mekar Satria Utama mengatakan, penerapan pilar 1 alias pajak digital mulai diterapkan pada awal semester I 2023, sedangkan untuk pilar 2 yakni pajak minimum global bagi perusahaan multinasional yang berbasis di suatu negara mulai diterapkan pada 2024.
“Dalam komunikasi G20 direncanakan untuk Pilar 1 sudah ada bentuk kesepakatan untuk penandatanganan multilateral convention (MLC), sedangkan pilar 2 akan dilaksanakan pada 2024,” tutur Mekar kepada Kontan.co.id, Kamis (27/10/2022).
Sejatinya implementasi penerapan pajak digital bisa berjalan mulai Juli 2022. Namun rencana tersebut batal karena adanya beberapa kendala. Yakni pembahasan yang panjang terkait pilar 1 karena harus mengakomodasi masukan 133 negara. Kemudian soal penerapan penghasilan yang bakal dikenakan pajak digital secara seragam.
Belum lagi soal upaya adanya memberikan kepastian hukum apabila terjadi sengketa (isu tax certainty). Lantas ada pembahasan tahap awal terkait Amount B dan Marketing and Distribution Safe Harbon. Ini membuat penerapan pajak pilar 1 masih dalam pembahasan menuju kesepakatan bersama yang dituangkan dalam dokumen bersama.
Dalam pertemuan berikutnya, kata Mekar, di kesepakatan awal bakal dimasukan 100 perusahaan global yang masuk kriteria penerapan pajak digital. “Nanti akan ada listnya,” tambahnya.
Indonesia sendiri sudah menerapkan pajak digital saat ini. Khususnya penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) dari transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Hingga akhir September 2022, penerimaan PPN PMSE sudah tembus Rp 8,69 triliun. Penerimaan tersebut berasal dari pungutan PPN PMSE dari 107 perusahaan digital yang beroperasi di Indonesia.
Dalam pertemuan terakhir para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G20 di Washington DC, Amerika Serikat (AS), Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut makin kuatnya komitmen untuk mengimplementasikan kesepakatan terkait pajak internasional.
Dirinya menyebut, para anggota mendukung penuh pekerjaan yang tengah berlangsung pada pilar 1, serta adanya antusiasme dalam menyelesaikan model dari Global Anti-Base Erosion (GloBE) pada pilar dua.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institue (TRI) Prianto Budi Saptono bilang Indonesia sebagai negara sumber penghasilan bagi perusahaan multinasional berhak mengenakan pajak atas penghasilan perusahaan multinasional yang berbasis di Indonesia. Yakni dengan mengenakan PPh atas laba usaha PMN yang beroperasi di Indonesia.
Meski begitu beberapa isu juga harus dituntaskan. Misalnya soal kehadiran fisik perusahaan asing, sementara di jaman digital, masih banyak perusahaan asing yang cuma hadir secara digital. Kemudian isu lainnya terkait profit shifting yang menjadi bagian dari praktik aggressive tax planning.
Sebagai informasi, rencana penerapan pilar 1 adalah memberikan sekitar 25% keuntungan setiap perusahaan global kepada negara-negara tempat perusahaan tersebut beroperasi. Adapun pembagian keuntungannya berdasarkan dari kontribusi pendapatan perusahaan tersebut di masing-masing negara.
Sedangkan untuk pilar 2 direncanakan penerapan pajak minimum yakni sebesar 15% bagi perusahaan global yang beroperasi di setiap negara untuk menciptakan rasa keadilan. Kriterianya adalah perusahaan yang punya omzet bisnis setahun minimal 750 juta euro.
Sumber: kontan.co.id